Menghapus Persepsi Bengkel pada Pesantren


Sudah beberapa kali saya menerima keluhan dari wali santri tentang prilaku anaknya setelah mondok di pesantren tempat saya tinggal. Dari sekian banyak keluhan ada yang positif dan ada juga yang negatif dan pada akhirnya akan dikembalikan kepada hakikat pesantren sendiri.
Pada kesempatan ini, saya akan membahas tentang keluhan yang negatif. Saya akan mencoba menjelaskan seseuai porsi kemampuan saya bahwa keluhan yang negatif itu tak seharusnya dilontarkan. Dari pembahasan ini saya berharap tidak ada lagi citra negatif untuk pesantren saya khusunya, dan semua pesantren di dunia umumnya.

"Padahal pak, dulu sebelum anak saya mondok, dia tidak seperti sekarang. Dia tidak merokok, nurut sama orang tua dan shalat subuhnya tak pernah ketinggalan".
Inilah keluhannya pada waktu itu.

Pernah juga, "Niat kami memondokkan anak kami, agar dia menjadi lebih baik, pak. Tapi kenapa sekarang tambah menjadi-jadi. Dia juga malah sering keluyuran".

Ya, seperti itulah keluhan dan sepertinya lebih mengarah kepada cara pandang negatif mereka terhadap pesantren. Mereka menganggap bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan yang disediakan untuk merubah prilaku anaknya menjadi lebih baik. Namun begitu, mereka sebenarnya juga tak bisa disalahkan, karena memang "menu" yang disediakan pesantren lebih banyak mengandung keagamaan, yang mungkin anggapan mereka dengan tersedianya menu itu bisa merubah prilaku seseorang. Jadi wajar jika mereka memiliki anggapan pesantren demikian. Mereka menganggapnya pesantren sebagai bengkel yang bisa memperbaiki kendaraan yang rusak bahkan yang bermasalah akut sekalipun. Kesimpulan awal yang dapat diambil adalah, pesantren dan agama dianggap sebagai kebutuhan yang sangat mendesak saat benar-benar sudah tidak ada jalan, ia hanya dianggap sebagai jalan pintas dari sekian banyak pilihan dan ia tak ubahnya sebagai pelarian saja.

Pada lembaga pendidikan manapun, juga di pesantren, pendidikan bukan jalan satu-satunya untuk merubah sikap dan prilaku seseorang. Jadi jangan salahkan pesantren, jika misalkan ia "tidak mampu" untuk melakukannya. Karena pesantren sudah terlabeli dengan "bengkel" yang sudah barang tentu akan menerima semua peserta didik, tanpa peduli latar belakangnya. Sehingga, jika ada seseorang yang dulu sebelum mondok sikapnya baik, lalu kemudian ia salah dalam memilih teman (berteman dengan anak yang nakal) bisa saja, ia akan tertular kenakalan si anak tersebut.
Makanya, selalu saya sarankan kepada semua wali santri untuk selalu memberikan pesan kepada anaknya minimal mengingatkan untuk tidak salah dalam memilih teman. Tapi tak sedikit pula dari sikap anak yang tidak baik juga bukan ditimbulkan oleh pengaruh temannya yang nakal, banyak juga karena faktor dari anak itu sendiri. Semisal karena kognisinya sendiri, maka jangan kaget misalkan anak itu setelah lama tinggal dipasntren tiba-tiba menjadi nakal.

Dari latar belakang inilah, kemudian muncul ide dipikiran saya untuk menghilakan label 'bengkel' pada pesantren. Ide ini mungkin akan menjadi dilema bagi pesantren sendiri, tapi bagaimanapun juga yang namanya ide perlu saya sampaikan dengan harapan akan bisa direalisasikan guna kebaikan pesantren kedepan.

Apa idenya?
Oke, ada dua ide sebenarnya yang akan saya sampaikan. Pertama, menyampaikan kepada masyarakat bahwa pesantren bukan bengkel yang bisa memperbaiki prilaku seseorang. Penyampaiannya pun bisa beragam, ambil yang paling sederhana yang mudah dipahami, seperti visi dan misi pesantren, tujuan berdirinya, hingga cerita keadaan pesantren sesungguhnya. Mulai dari kegiatan sehari-hari baik di asrama maupun di sekolah, konsep pendidikan, sistem keamanan dan semacamnya. Proses penyampaian informasinya bisa dengan tulisan, dalam bentuk ceramah atau sekedar obrolan santai.  Kemudian untuk media yang bisa digunakan dalam menyampaikan informasi ini bisa melalui media cetak, media online seperti facebook dan blog atau website.

Siapa Pelaksananya?
Yang menjadi pelaksana dalam ide ini adalah semua kalangan yang berkepentingan atau yang berkecimpung dengan pesantren sendiri. Mulai dari santri aktif, wali santri, pengurus, keluarga pengasuh serta alumni sekalipun. Semua bisa menjadi pelaksana menggunakan cara mereka masing-masing, seperti yang telah dipaparkan diatas.

Seperti apa konsepnya?
Jadi begini, konsep pelaksanaan dari ide pertama ini dibuat se-sederhana mungkin, agar para pelaksana dan objek mengerti tentang apa yang disampaikan. Saat santri baru sudah tinggal dipondok, maka tugas pengurus dan pengasuh untuk menyampaikan hal-hal yang isinya menekankan bahwa pesantren bukan bengkel yang bisa merubah prilaku seseorang. Semuanya harus berawal dari niat, usaha dan keseriusan santri sendiri.
Jika ingin menjadi orang baik, maka harus punya niat, usaha dan keseriusan untuk bisa menjadi orang baik. Jadi nantinya kalau misalkan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan (seperti keluhan wali santri diatas) pesantren tidak disalahkan. Nah, jika para santri sudah mengerti tentang apa yang disampaikan, maka pengurus dan pengasuh memberi amanah kepada santri untuk menyampaikan apa yang telah dipahaminya kepada wali santri masing-masing. Dengan demikian, otomatis wali santri akan paham juga bahwa pesantren bukan jalan satu-satunya untuk memperbaiki sikap atau prilaku seseorang.

Adakah konsep lain?
Ada!
Saya rasa semua pesantren pasti memiliki agenda tahunan yaitu harlah (peringatan hari lahir) atau haflatul imtihan yang akan dihadiri oleh wali santri, alumni dan masyarakat umum. Maka momen ini juga layak untuk dijadikan media dalam pemnyampaian informasi dimaksud. Caranya?
Saat sambutan pengasuh atau saat ceramah agama, muballigh diharapkan untuk menyampaikan informasi-informasi yang penekannya pada penghapusan label bengkel pada pesantren ini. Nah, sudah barang tentu dan semoga masyarakat serta wali santri akan mengerti bahwa pesantren bukan bengkel. Amin...

Sesederhana inikah?
Ya, sederhana! Bahkan sederha sekali. Namun dari kesederhanaan ini jika tidak segera dilaksanakan akan terus berlangsung dan mungkin akan selamanya pesantren dilabeli sebagai bengkel..

Berapakah biayanya?
Saya rasa untuk ide sederhana ini tidak membutuhkan biaya. Yang dibutuhkan hanya dua, yaitu keseriusan dan kekompakan. Keseriusan dalam proses penyampaian informasi oleh pengurus dan pengasuh kepada santri, wali santri, alumni dan masyarakat umum. Kekompakan dalam menyatukan misi dalam penghapusan label bengkel pada pesantren.

Lalu, ide kedua?
Setelah ide pertama telah dilaksanakan maka dilanjutkan dengan ide kedua. Disinilah letak ke-dilemaan pesantren seperti yang telah saya sampaikan diatas. Namun sekali lagi jika ada pesantren yang mau menerapkan ide ini, saya rasa sudah tidak akan ada lagi label bengkel pada pesantren. Apa idenya? Jika ide pertama sederhana, maka ide kedua ini lumaya sulit, yaitu pesantren melakukan seleksi dalam penerimaan santri. Jika misalkan calon santri tidak sesuai dengan kriteria, maka dengan terpaksa tidak diterima. Atau jika misalkan memang tetap harus diterima, maka pesantren harus siap dengan semua konsekuensi yang akan diterima. 
Konsepnya?
Sama seperti ide pertama, konsep ide kedua ini seharusnya juga dibuat sederhana. Proses seleksinya menyangkut semua sisi kehidupan calon santri sebelumnya. Seperti sikap, prilaku, ibadah dan kemampuan berpikirnya.
Proses seleksi bisa menggunakan tes tulis atau wawancara bahkan bisa menggunakan dua-duanya yaitu pertama tes tulis, kemudian jika dirasa calon santri ini layak, maka dilanjutkan dengan tes wawancara yang nanti setelah proses tes ini, langsung diputuskan diterima atau tidak.
Materi tes tulis meliputi kegiatan furudhul ainiyah dasar yang merupakan kegiatan-kegiatan wajib calon santri sendiri. Seperti thaharah (bersesuci), wudhu’, shalat sampai baca tulis Al-qur’an. Kemudian untuk tes wawancara meliputi aktifitas calon santri selama dirumah. Siapa temannya, apa kegiatan sehari-harinya selama dirumah, kegiatan kedepannya setelah tinggal di pondok hingga kesiapannya mengikuti semua norma yang telah ditetapkan agama dan pesantren. Nah, jika semua proses tes atau seleksi ini terlewati dengan mudah dan sesuai ketentuan, maka calon santri itu layak untuk diterima dan menetap di pesantren.

Yang tidak layak diterima?
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana dengan yang tidak layak diterima?
Kenyataan inilah yang mungkin dianggap oleh banyak orang bahwa pesantren adalah bengkel. Anggapan ini juga tidak seutuhnya salah, karena memang hanya pesantren satu-satunya lembaga yang dikenal sebagai tempat untuk memperbaiki sikap seseorang. Namun sekali lagi, pesantren bukan bengkel yang harus memperbaiki semua prilaku seseorang dan setelah keluar dari pesantren otomatis akan berubah lebih baik.

Lalu bagaimana dengan yang tidak layak?
Mudah saja! Pesantren mengeluarkan surat pernyataan dengan ditandatangani oleh pengasuh, wali santri dan santri yang isinya adalah kesiapan santri untuk dikeluarkan dari pesantren jika misalkan dikemudian hari ada hal-hal yang tidak diinginkan yang timbul karena prilaku santri tersebut. Dengan begini, otomatis wali santri dan santri tentunya akan sungguh-sungguh dalam usahanya. Lalu kemudian pesantren melakukan pembinaan khusus kepada santri yang memang dari awal sudah dinyatakan tidak layak diterima. Pembinaannnya bisa dilakukan pengurus atau dilakukan oleh pengasuh langsung, serta pembinaannya ditekankan kepada perbaikan sikap serta prilaku tidak baiknya. Nah, dengan proses begini, jika misalkan nantinya ada kejadian yang tidak diinginkan pesantren tak harus disalahkan, karena memang dari awal sudah ada kesepakatan.

Selesai.
Ya, selesai sudah pemaparan ide saya. Ide sederhana namun dilema.
Semoga ada pesantren yang mau menerapkannya, atau kalaupun tidak ada, tidak akan ada lagi anggapan bahwa pesantren adalah bengkel.. Amin..
Salam saya..

Ide ini diikutsertakan dalam Giveaway “Berbagi Ide untuk Pesantren”
give away ide for pesantren
JANGAN LUPA, BAGIKAN TULISAN INI
TULISAN MENARIK LAINNYA

5 Komentar untuk Tulisan
"Menghapus Persepsi Bengkel pada Pesantren"

  1. Bisakah diadakan penjaringan trlebih dahulu trhadap anak yg akan masuk pesantreb, Mas.

    Sama seperti anak yg akan masuk sekolah. Terkait out put juga, kan? :D

    BalasHapus
  2. Bukan pesantrennya yang harus disalahkan, tapi karakter anak dan teman-temannya juga. Ehm, salah satu sinetron yang memodernkan pesantren juga salah tuh, menurut aku, masa di dalam pesantren dibolehkan berpacaran, pegangan tangan, dsb. Otomatis orang yang menonton kan jadi meniru

    BalasHapus
  3. kadang ada ortu yang masukin anaknya ke pondok karena anak itu nakal. tapi kalo si anak ga berubah pas di sana, bisa aja dia malah jadi merusak anak2 lain, memang harusnya diseleksi juga ya

    BalasHapus
  4. sekarang banya pesantren yang menerapkan tes ujian mausk, serta orang tua di wawancara jadi tau latar belakang mengapa mereka memasukkan anaknya ke pesantren

    BalasHapus
  5. Terima kasih atas partisipasi Anda dalam Giveaway "Berbagi Ide untuk Pesantren"

    Salam damai, :)

    BalasHapus